Cari Blog Ini

About Me

Jumat, 31 Agustus 2018

Soal Pindah Kerja (lagi) dan Ketakutan Menikah

pict on pinterest


Mulailah maafkan dirimu dulu. Karena rasa bersalah ada bukan karena orang-orang menyalahkan kamu. Melainkan diri kamu sendiri yang tahu, bahwa bertindak salah, adalah salah.


Kalau postingan beberapa bulan lalu soal saya resign dari Radar Banten dan memilih bekerja di dunia yang maha bebas bernama antara.com. Sekarang, saya bawa kabar baru lagi. Saya resign dari antara dan beralih ke Jawapos Koran.

Dua tahun malang melintang di dunia reporterisme, sedikit banyak paham apa yang ada di dalam jiwa saya. Bebas, lepas, bertemu dengan orang banyak, independen, dan punya sedikit waktu untuk dibiarkan sendirian.

Sebenarnya saya nggak tahu apa yang mau saya posting saat ini. Cuma rasanya nggak afdhol aja kalau nggak bilang, “hello, gue move up nih,” ke dunia yang luas ini. Membanggakan diri sendiri karena memang nggak ada yang bangga. Semua orang beranggapan, ah sama-sama wartawan menariknya apa. 

Mungkin bagi sebagian orang, nggak tahu kenaikan antara wartawan itu manis. Kaya saya misalnya. Daftar pertama kali di Radar Banten, Koran lokal yang punya nama kemudian pindah ke online nasional milik BUMN setelah 1,5 tahun mengabdi di bawah tekanan. Merasa kurang puas dengan pekerjaan yang stagnan, dan lokasi itu-itu saja, akhirnya saya putuskan menerima tawaran dari salah satu Koran harian nasional. Jawapos.

Saya selalu menargetkan sesuatu. Meskipun kerap kali lolos. Ya nggak apa-apa, dicoba terus, ketika berhasil Alhamdulillah. Ketika nggak, mungkin memang bukan rejeki. Saya bukan tipe orang yang terus-terusan menyalahkan diri ketika nggak diterima kerjaan.

Yah gimana, kalau bukan rejeki, dengan menyalahkan ketidakmampuan kita, apakah semuanya bisa berbalik gitu aja ?

Dan bersyukurnya, saya selalu berhasil dalam mencapai target. Alhamdulillah. Eh pernah sih beberapa kali gagal, atau sering ? lupa, karena kegagalan diingat cuma ketika mau aja. Hehe. Intinya, bagi saya gagal bukan hal yang harus dibaperin. Boleh sedih, tapi jangan berlarut.

Oke balik lagi ke topik saya pindah kerja (lagi).

Sudah sebulan saya duduk manis di salah satu kubikel lantai 10 Gedung Graha Pena Jawapos di Kebayoran Lama. Senang, akhirnya Annisa punya kubikel sendiri. Bisa dihias gimanapun, meskipun belum ada barang-barang yang bisa buat ngehias. Tapi minimal punya privasi sendiri. Setelah saya Cuma punya meja berisi computer dan sebuah laci di Radar Banten. Dan tidak memiliki fasilitas apapun di antara karena online. Hehe.

Kesenangan lainnya adalah, saya keluar dari zona nyaman. Jika dulu saya liputan bergantung dengan agenda Walikota Tangsel. Sekarang saya liputan dengan mengandalkan isu yang berkembang. Pontang panting cari narasumber yang bisa diwawancarai. Berupaya mendapatkan berita paling nggak dua dalam sehari yang memang hasil liputan. Semuanya dimulai dari awal, dan rasa semangat saya masih kurang besar untuk menaklukan ini semua.

Saya nggak mau cerita bagaimana saya bisa diterima di Jawapos. Intinya, karena tawakal dan terus berusaha, Alhamdulillah dipercaya menjadi anak baru. Tapi yang saya ceritakan saat ini adalah, passion saya menjadi penulis.

Rasanya enggan untuk mencari pekerjaan lain. Meskipun rasa nyaman itu terlalu abu-abu untuk dinilai sebagai passion atau zona nyaman. Apa karena saya sudah nyaman bekerja seperti ini jadi enggan mencoba hal baru. Atau memang saya jatuh cinta. Jawabannya masih belum tahu.

Tapi yang terpenting, menulis, mewawancarai dan membaca adalah hal demi hal yang saya cintai. Sekarang, karena satu dan lain hal saya memang sudah jarang sekali membaca buku. Tapi, membaca adalah hal yang saya lakukan sampai sekarang. Membaca buku online, artikel sampai dengan web site soal jurnalistik dasar.  Ilmu reporter yang saya miliki ternyata masih sangat jauh dari kata baik. Jadi saya belajar lagi, otodidak.

Perasaan ini begitu menggebu ketika akhirnya satu step sudah bisa saya langkahi. Bangga banget ketika ketemu sama teman-teman lama, dan bilang kalau saya sekarang sudah berkari di salah satu gedung tinggi di Jakarta. Terutama pada beberapa orang yang sibuk rusuhin diri sama urusan saya. Beberapa yang anehnya, ketika sudah dibicarakan semua teman jadi tahu.

Sombong nggak apa-apa kan ? toh saya nggak mengandalkan usaha siapapun. Saya hanya mengandalkan usaha saya sendiri, doa sendiri dan kemana-mana sendiri. Aih sombong banget ih kamu Annisa.

Akhir-akhir ini saya merasa kesepian. Terutama ketika saya masih bekerja sebagai wartawan antara. Luang waktu yang saya miliki banyak. Tapi pemasukan juga nggak banyak. Yang ada meratapi nasib di kamar kosan. Guling sana guling sini. Nonton video nggak jelas. Banyak sekali hal tidak bermafaat saya lakukan. Dan selama enam bulan itu saya lakukan, jenuh rasanya.

Karena itu saya nggak mikir dua kali ketika ada tawaran di Koran. Ritme kerja seperti di Radar menurut saya lebih cocok dari pada gabut. Saya suka menikmati waktu di dalam kantor. Menulis apapun, blog, wattpad, status, dan lainnya. Di kantor juga ada fasilitas wifi gratis. Selain itu di kantor, saya nggak pernah merasa kesepian. Meskipun tetap sendiri. Sendirian di temapt ramai lebih baik.

Saat ini, sambil terus bekerja, saya berupaya untuk memahami diri saya sendiri. Keinginan berpasangan. Menikah. Karir. Keluarga. Teman. Travelling dan banyak lainnya menjadi hal-hal yang sering saya pikirkan. Terbagi-bagi dengan porsi yang berbeda.

Dari banyaknya hal itu, yang sering terpintas adalah keinginan saya menikah. Dengan ritme pekerjaan yang saya sukai, apa ada laki-laki yang siap ? pemikiran seperti itu timbul tenggelam. Setiap orang punya keinginan, kemauan dan permintaan. Dan melepas karir yang saya bangun saat ini adalah hal yang tidak ingin saya terima. Begitulah saya berpikir. Membangun hubungan membuat waktu saya terbagi.

Selain itu, selain diri saya sendiri, ada adik-adik dan orang tua yang harus saya tanggung. Kenyataan ini membuat saya panik tanpa saya sendiri sadari betul. Saya nggak mau jadi beban orang. Kalau orang mau membebani saya, nggak apa-apa. Dan nggak banyak orang yang mau dibebankan.
Sedihnya, saya nggak bisa menyalahi takdir saya sebagai anak sulung dan kakak dari dua adik yang masih sekolah. Tanggung jawab saya besar, dan rasanya melepaskan mereka hanya untuk menikah, akan menyebabkan saya merasa bersalah. Hal itu juga yang membuat saya harus rela pergi pagi pulang malam demi kosan yang murah. Dan memilih melepaskan pekerjaan saya yang dibilang cukup nyaman.

Karena nyaman nggak pernah cukup.

Ada banyak hal yang saya pikirkan akhir-akhir ini. dituangkan dalam tulisan tidak banyak membantu. Saya cuma ingin menuliskan ketakutan demi ketakutan yang saya rasakan. Sesederhana itu.

regard
Lovelynnisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar