Pict By JobsDB
Maafkan diri
anda sendiri. Jika dirasa memang ada yang mengganjal, namun tak banyak orang
tahu apa yang kau alami.
Selepas saya
menulis tentang perasaan saya mengenai perpisahan dengan kantor lama di postingan sebelumnya.
Memindahkan kantor baru, yang tupoksi kerjanya masih sama dengan saat ini.
Tidak ada yang berbeda, masih meliput sana sini, masih merekam omongan sana
sini. Masih dan akan terus selalu bekerja sebagai penulis kejadian, peristiwa
dan program.
Sebenarnya
dalam postingan minggu ini saya mau menuliskan peliputan saya selama empat hari
belakang. Menjadi reporter khusus untuk RNI Award dan konser kecil satu dekadenya
Afgan. Tapi karena tulisan kemarin belum selesai dibahas. Pada akhirnya saya
akan meneruskannya saat ini.
Sejak
Desember lalu, paska HUT Tangsel, saya merasa sudah mulai tidak nyaman dengan
kantor lama. Bahkan jauh dari itu, setelah kepergian Bang Daus, redaktur Kota
Tangsel, saya merasa mulai kesepian. Namun kesepian itu akhirnya terisi dengan
kedatangan teman baru, Anggun.
Ritme kerja
yang tidak manusiawi kerap membuat saya lelah dan bolos kerja. Saya sering
malas masuk kantor. Kadang juga meskipun paginya saya ngantor, sorenya suka
izin karena memang dalam posisi itu saya malas untuk stay di kantor, menjadi
pecandu rokok pasif. Bunuh diri pelan-pelan, dengan asap yang sampai ini masih
ada saja.
Ritme kerja
yang jahat ditambah dengan situasi omset yang saya diminta untuk kembali
memikirkannya. Padahal itu bukan tupoksi kerja saya. Yang seharusnya saya
pikirkan adalah bagaimana saya bisa mencari berita yang layak tayang. Sehingga
tukang becak yang beli Koran saya nggak
merasa ditipu dengan harga Rp4000 perak. Jangan lagi cuma berita seremonial
yang tayang.
Suasana kian
panas sampai Anggun dan Mas Ardi dari bagian AE memilih untuk berhenti
bekerjasama dengan kantor lama sampai akhir bulan Februari saja. Saya kian
resah, saya merasa saya ditinggalkan di dalam sebuah penjara penuh asap dan
tidak berperikemanusiaan. Entah itu dari segi hak satu-satunya yakni bernafas,
sampai dengan pemenuhan kinerja yang tidak sesuai bidang.
Keresahan
itu menjadi-jadi ketika saya dapat kabar, seseorang yang saya kagumi jika dia
akan mengakhiri masa lajangnya. Bersama mantan kekasihnya yang ternyata masih
menjadi kekasihnya. Seperti yang sudah sudah, hal ini yang menjadi penentu saya
mundur atau tidak di tengah keresahan saya. Bahkan ketika saya research, saya nggak punya alasan untuk
bertahan selain upah yang diberikan lebih besar bahkan dari kantor saya saat
ini. Tidak apa.
Di tengah
kerisauan itu, saya dipanggil bekerja menjadi content writer di salah satu perusahaan garmen di Kota Tangerang.
Pada saat itu saya minta teman lapangan untuk backup pekerjaan di Tangsel dengan alih-alih alasan saya menggantikan
posisi teman saya yang di Kota Tangerang. Saya merasa tidak terbebani saat melakukan
wawancara. Bahkan saya senang bisa bertemu dengan mereka yang memiliki hobi
dengan saya. Membaca buku dan menonton film. Kami, antara saya dan piak HRD,
banyak mengobrol saat itu.
Dua hari
kemudian saya mendapat pesan jika saya diterima dan lolos menjadi salah satu
karyawan baru. Saya senang, karena akhirnya memiliki pekerjaan baru dan bisa
keluar dari kantor lama dengan tenang. Tidak perlu takut menjadi pengangguran.
Saya diberi waktu lima hari untuk menyelesaikan sesuatunya dengan kantor lama.
Lima hari yang saya lalui kembali membuat saya gamang. Haruskah saya pergi dari
tempat yang membesarkan saya ?
Selama lima
hari itu juga beberapa panggilan pekerjaan ternyata datang. Mulai dari koperasi
Syariah dengan iming-iming upah besar, admin perusahaan kayu, dan banyak
lainnya. Tapi, sekali lagi saya tolak. Saya ingin fokus dengan pekerjaan
menulis saya, saya ingin jikapun saya pindah, saya tetap bisa bertemu dengan
orang orang baru dan banyak. Saya terlalu jatuh cinta dengan pekerjaan ini.
Di tengah
lima hari yang mencekam, hati dan pikiran sama sama saling bertolak, saya
bingung. Apakah perlu saya teruskan perjalanan ini di tempat lain, ataukah
perlu saya tahan keinginan saya untuk terbang dari ruangan penuh asap ini.
Pertanyaan pertanyaan itu kembali terngiang sampai hari minus dua. Masih 50-50
untuk keluar dan tetap bertahan.
Sampai
akhirnya, saya bertemu dengan Fotografer Antaranews untuk Tangerang Raya. Dia
bilang Antara biro Banten butuh wartawan untuk desk job Tangsel. Saya exited dan bilang kalau ingin keluar
dari kantor lama. Dia langsung meneruskan pesan saya ke atasannya. Nggak butuh
lama dengan embel-embel kalau saya sudah bisa cari iklan sendiri di Tangsel,
akhirnya dua hari kemudian saya diminta untuk bertemu dengan Kabiro Antara News
untuk Banten. Saya, diterima sebagai salah satu reporter regional wilayah
Tangsel untuk Antaranews. Salah satu perusahaan media milik Negara.
***
Tentu saja,
untuk mengatakan hal ini ke kantor lama saya punya beban baru. Saya nggak tahu
bagaimana caranya untuk bisa bilang jika saya sudah tidak bisa lagi bekerja di
kantor lama. Pertama kalinya saya bekerja adalah untuk kantor ini. Jadi
pengunduran diri ini juga menjadi yang pertama kalinya bagi saya. Saya stuck untuk dua hari, belum lagi saya
harus bilang ke perusahaan garmen yang menerima saya kalau saya nggak bisa
bekerja untuk mereka.
Pada Selasa
7 Maret. Saya izin untuk tidak masuk kantor lama. Menyiapkan diri untuk bicara
jika saya Sudah tidak bisa lagi bergabung dengan teman-teman semua. Meskipun
pada akhirnya setelah itu saya tidak pernah menyampaikan pesan terakhir dan
kesan khusus untuk mereka. Saya memilih pergi sambil diam, merekam
situasi-situasi akhir yang mereka tidak tahu. Biar rindu saya saja yang
rasakan.
***
Kabiro lama
(selanjutnya akan saya berinama Pak Ipul) bertemu dengan saya di malam saya
mohon undur diri. Tidak tahu kenapa saya keukeuh minta bertemu dengan beliau di
luar kantor. Bagi saya, kantor terlalu menekan saya untuk menjadi sempurna, dan
hal itu yang membuat saya takut jika saya tidak bisa pergi kalau sudah sampai
kantor. Manalagi itu merupakan momen dimana saya akhirnya bisa bebas untuk tak
harus lagi berada di kantor.
Kami memilih
Starbucks untuk pertemuan malam itu. Pertemuan pribadi kami terakhir kalinya.
Saya tahu
ada keresahan yang muncul dari tatapan Pak Ipul. Sebuah permohonannya agar saya
tetap bertahan. Menemaninya, dengan segala embel-embel yang tidak perlu saya
lakukan di kemudian hari. Termasuk, omong kosong tentang omset yang tak wajib
saya penuhi.
Saya hargai
tiap kali usahanya membeberkan fakta jika saya bisa kembali ketika siap sampai
akhir minggu. Dia mau menunggu. Tapi saya enggan ditunggu. Tidak ada penolakan
yang saya lontarkan. Saya hanya bisa tersenyum. Dan saya harap dengan senyuman
itu Pak Ipul bisa paham saya harus pergi.
Sampai dia
bertanya kepada saya. Apa dan kenapa saya bisa pergi. Kenapa padahal saya
menikmatinya, padahal saya sudah tahu bahwa setiap pekerjaan akan selalu ada
tekanan. Ah, entahlah saya juga tidak
tahu mengapa saya bisa keukeuh ingin berhenti.
Pertanyaan
itu mengiang-ngiang, sampai pada titik akirnya saya menemukan alasan paling
tidak logis yang saya pikirkan. Alasan yang menurut saya bukanlah alasan paling
tepat untuk dijadikan alibi mundur dari kantor lama. Tapi, semakin
memikirkannya, untuk meredakan rasa bersalah saya dan menenangkan hati saya.
Saya akui, alasan paling irasional ini menjadi alasan terbesar saya mundur.
Sengaja saya
letakan paling akhir karena pada intinya tulisan ini menyampaikan jika dalam
pekerjaan hindari kontak perasaan. Sebab, jika salah satunya tersakiti, maka
untuk menghindarinya adalah mundur dari jarak pandang, gerakgerik dan interaksi
baik umum atau pribadi.
Karena
meskipun saya harus benar-benar mencari alasan, saya tidak bisa menampik jika
alasan terbesar saya berhenti adalah, saya tidak bisa lagi bertemu dengan sosok
yang saya kagumi, yang saya perhatikan menikah dengan orang lain. Alih-alih
penolakan yang saya terima kapan tahu itu, merupakan tipuan belaka. Saya mundur
untuk diri saya sendiri. Meskipun saya harus mengakui jika saya sudah kalah
dari pertarungan ini.
Entah kemana
tulisan ini akan bermuara. Sebuah pengakuan jika saya tidak bisa bekerja dengan
hati adalah dasar dari tulisan ini. Saya masih sayang dengan diri saya sendiri.
Karena itu saya enggan untuk meneruskan kisah sedih dan cemburu saya di kantor
lama. Biarlah, tidak apa saya kalah. Saya juga ingin survive. Hidup saya masih
panjang, ada seseorang yang dengan tulus menunggu saya. Dan bagaimanapun harus
saya hargai itu.
Akhir kata,
ini tulisan terakhir saya untuk kisah perasaan di dalam kantor yang pada
akhirnya membuat saya mundur perlahan. Bagi yang pernah mengalaminya,
pahamilah, antara otak dan hati ada syaraf tersambung. Sekeras apapun menolak
untuk mengakuinya, sebesar itu pula sakit yang akan kamu terima. Akuilah, sebab
kalah tak selamanya salah.
Regardly Lovelynnisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar