Cari Blog Ini

About Me

Minggu, 08 April 2018

ALASAN BERHENTI VERSUS PATAH HATI

Pict By JobsDB
Maafkan diri anda sendiri. Jika dirasa memang ada yang mengganjal, namun tak banyak orang tahu apa yang kau alami.


Selepas saya menulis tentang perasaan saya mengenai perpisahan dengan kantor lama di postingan sebelumnya. Memindahkan kantor baru, yang tupoksi kerjanya masih sama dengan saat ini. Tidak ada yang berbeda, masih meliput sana sini, masih merekam omongan sana sini. Masih dan akan terus selalu bekerja sebagai penulis kejadian, peristiwa dan program.

Sebenarnya dalam postingan minggu ini saya mau menuliskan peliputan saya selama empat hari belakang. Menjadi reporter khusus untuk RNI Award dan konser kecil satu dekadenya Afgan. Tapi karena tulisan kemarin belum selesai dibahas. Pada akhirnya saya akan meneruskannya saat ini.

Sejak Desember lalu, paska HUT Tangsel, saya merasa sudah mulai tidak nyaman dengan kantor lama. Bahkan jauh dari itu, setelah kepergian Bang Daus, redaktur Kota Tangsel, saya merasa mulai kesepian. Namun kesepian itu akhirnya terisi dengan kedatangan teman baru, Anggun.

Ritme kerja yang tidak manusiawi kerap membuat saya lelah dan bolos kerja. Saya sering malas masuk kantor. Kadang juga meskipun paginya saya ngantor, sorenya suka izin karena memang dalam posisi itu saya malas untuk stay di kantor, menjadi pecandu rokok pasif. Bunuh diri pelan-pelan, dengan asap yang sampai ini masih ada saja.

Ritme kerja yang jahat ditambah dengan situasi omset yang saya diminta untuk kembali memikirkannya. Padahal itu bukan tupoksi kerja saya. Yang seharusnya saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa mencari berita yang layak tayang. Sehingga tukang becak yang beli Koran  saya nggak merasa ditipu dengan harga Rp4000 perak. Jangan lagi cuma berita seremonial yang tayang.

Suasana kian panas sampai Anggun dan Mas Ardi dari bagian AE memilih untuk berhenti bekerjasama dengan kantor lama sampai akhir bulan Februari saja. Saya kian resah, saya merasa saya ditinggalkan di dalam sebuah penjara penuh asap dan tidak berperikemanusiaan. Entah itu dari segi hak satu-satunya yakni bernafas, sampai dengan pemenuhan kinerja yang tidak sesuai bidang.

Keresahan itu menjadi-jadi ketika saya dapat kabar, seseorang yang saya kagumi jika dia akan mengakhiri masa lajangnya. Bersama mantan kekasihnya yang ternyata masih menjadi kekasihnya. Seperti yang sudah sudah, hal ini yang menjadi penentu saya mundur atau tidak di tengah keresahan saya. Bahkan ketika saya research, saya nggak punya alasan untuk bertahan selain upah yang diberikan lebih besar bahkan dari kantor saya saat ini. Tidak apa.

Di tengah kerisauan itu, saya dipanggil bekerja menjadi content writer di salah satu perusahaan garmen di Kota Tangerang. Pada saat itu saya minta teman lapangan untuk backup pekerjaan di Tangsel dengan alih-alih alasan saya menggantikan posisi teman saya yang di Kota Tangerang. Saya merasa tidak terbebani saat melakukan wawancara. Bahkan saya senang bisa bertemu dengan mereka yang memiliki hobi dengan saya. Membaca buku dan menonton film. Kami, antara saya dan piak HRD, banyak mengobrol saat itu.

Dua hari kemudian saya mendapat pesan jika saya diterima dan lolos menjadi salah satu karyawan baru. Saya senang, karena akhirnya memiliki pekerjaan baru dan bisa keluar dari kantor lama dengan tenang. Tidak perlu takut menjadi pengangguran. Saya diberi waktu lima hari untuk menyelesaikan sesuatunya dengan kantor lama. Lima hari yang saya lalui kembali membuat saya gamang. Haruskah saya pergi dari tempat yang membesarkan saya ?

Selama lima hari itu juga beberapa panggilan pekerjaan ternyata datang. Mulai dari koperasi Syariah dengan iming-iming upah besar, admin perusahaan kayu, dan banyak lainnya. Tapi, sekali lagi saya tolak. Saya ingin fokus dengan pekerjaan menulis saya, saya ingin jikapun saya pindah, saya tetap bisa bertemu dengan orang orang baru dan banyak. Saya terlalu jatuh cinta dengan pekerjaan ini.

Di tengah lima hari yang mencekam, hati dan pikiran sama sama saling bertolak, saya bingung. Apakah perlu saya teruskan perjalanan ini di tempat lain, ataukah perlu saya tahan keinginan saya untuk terbang dari ruangan penuh asap ini. Pertanyaan pertanyaan itu kembali terngiang sampai hari minus dua. Masih 50-50 untuk keluar dan tetap bertahan.

Sampai akhirnya, saya bertemu dengan Fotografer Antaranews untuk Tangerang Raya. Dia bilang Antara biro Banten butuh wartawan untuk desk job Tangsel. Saya exited dan bilang kalau ingin keluar dari kantor lama. Dia langsung meneruskan pesan saya ke atasannya. Nggak butuh lama dengan embel-embel kalau saya sudah bisa cari iklan sendiri di Tangsel, akhirnya dua hari kemudian saya diminta untuk bertemu dengan Kabiro Antara News untuk Banten. Saya, diterima sebagai salah satu reporter regional wilayah Tangsel untuk Antaranews. Salah satu perusahaan media milik Negara.

***

Tentu saja, untuk mengatakan hal ini ke kantor lama saya punya beban baru. Saya nggak tahu bagaimana caranya untuk bisa bilang jika saya sudah tidak bisa lagi bekerja di kantor lama. Pertama kalinya saya bekerja adalah untuk kantor ini. Jadi pengunduran diri ini juga menjadi yang pertama kalinya bagi saya. Saya stuck untuk dua hari, belum lagi saya harus bilang ke perusahaan garmen yang menerima saya kalau saya nggak bisa bekerja untuk mereka.

Pada Selasa 7 Maret. Saya izin untuk tidak masuk kantor lama. Menyiapkan diri untuk bicara jika saya Sudah tidak bisa lagi bergabung dengan teman-teman semua. Meskipun pada akhirnya setelah itu saya tidak pernah menyampaikan pesan terakhir dan kesan khusus untuk mereka. Saya memilih pergi sambil diam, merekam situasi-situasi akhir yang mereka tidak tahu. Biar rindu saya saja yang rasakan.

***

Kabiro lama (selanjutnya akan saya berinama Pak Ipul) bertemu dengan saya di malam saya mohon undur diri. Tidak tahu kenapa saya keukeuh minta bertemu dengan beliau di luar kantor. Bagi saya, kantor terlalu menekan saya untuk menjadi sempurna, dan hal itu yang membuat saya takut jika saya tidak bisa pergi kalau sudah sampai kantor. Manalagi itu merupakan momen dimana saya akhirnya bisa bebas untuk tak harus lagi berada di kantor.

Kami memilih Starbucks untuk pertemuan malam itu. Pertemuan pribadi kami terakhir kalinya.

Saya tahu ada keresahan yang muncul dari tatapan Pak Ipul. Sebuah permohonannya agar saya tetap bertahan. Menemaninya, dengan segala embel-embel yang tidak perlu saya lakukan di kemudian hari. Termasuk, omong kosong tentang omset yang tak wajib saya penuhi.

Saya hargai tiap kali usahanya membeberkan fakta jika saya bisa kembali ketika siap sampai akhir minggu. Dia mau menunggu. Tapi saya enggan ditunggu. Tidak ada penolakan yang saya lontarkan. Saya hanya bisa tersenyum. Dan saya harap dengan senyuman itu Pak Ipul bisa paham saya harus pergi.

Sampai dia bertanya kepada saya. Apa dan kenapa saya bisa pergi. Kenapa padahal saya menikmatinya, padahal saya sudah tahu bahwa setiap pekerjaan akan selalu ada tekanan. Ah, entahlah saya juga tidak tahu mengapa saya bisa keukeuh ingin berhenti.

Pertanyaan itu mengiang-ngiang, sampai pada titik akirnya saya menemukan alasan paling tidak logis yang saya pikirkan. Alasan yang menurut saya bukanlah alasan paling tepat untuk dijadikan alibi mundur dari kantor lama. Tapi, semakin memikirkannya, untuk meredakan rasa bersalah saya dan menenangkan hati saya. Saya akui, alasan paling irasional ini menjadi alasan terbesar saya mundur.

Sengaja saya letakan paling akhir karena pada intinya tulisan ini menyampaikan jika dalam pekerjaan hindari kontak perasaan. Sebab, jika salah satunya tersakiti, maka untuk menghindarinya adalah mundur dari jarak pandang, gerakgerik dan interaksi baik umum atau pribadi.

Karena meskipun saya harus benar-benar mencari alasan, saya tidak bisa menampik jika alasan terbesar saya berhenti adalah, saya tidak bisa lagi bertemu dengan sosok yang saya kagumi, yang saya perhatikan menikah dengan orang lain. Alih-alih penolakan yang saya terima kapan tahu itu, merupakan tipuan belaka. Saya mundur untuk diri saya sendiri. Meskipun saya harus mengakui jika saya sudah kalah dari pertarungan ini.

Entah kemana tulisan ini akan bermuara. Sebuah pengakuan jika saya tidak bisa bekerja dengan hati adalah dasar dari tulisan ini. Saya masih sayang dengan diri saya sendiri. Karena itu saya enggan untuk meneruskan kisah sedih dan cemburu saya di kantor lama. Biarlah, tidak apa saya kalah. Saya juga ingin survive. Hidup saya masih panjang, ada seseorang yang dengan tulus menunggu saya. Dan bagaimanapun harus saya hargai itu.

Akhir kata, ini tulisan terakhir saya untuk kisah perasaan di dalam kantor yang pada akhirnya membuat saya mundur perlahan. Bagi yang pernah mengalaminya, pahamilah, antara otak dan hati ada syaraf tersambung. Sekeras apapun menolak untuk mengakuinya, sebesar itu pula sakit yang akan kamu terima. Akuilah, sebab kalah tak selamanya salah.

Regardly Lovelynnisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar