Cari Blog Ini

About Me

Rabu, 04 April 2018

Sebuah Alasan Untuk Meninggalkan

Pict by google

Rasanya rindu sekali nggak nulis di blog ini.
Sebab sudah lama. Bahkan terakhir kali nulis masih di kantor lama. Sementara hari ini sejak sekitar sebulan lalu saya sudah bekerja di bawah instansi lain. Masih menjadi pewarta, masih menjadi kuli tinta. Hanya berbeda instansi dengan ritme waktu yang jauh lebih lengang. Apalagi ketika saya menulis ini saya sedang menikmati waktu luang saya di salah satu kedai spageti di Pamulang.




Ada keputusan besar yang saya ambil ketika terpaksa berhenti berjuang di bawah tekanan yang saya terima di kantor yang lama. Pekerjaan yang banyak dengan jiwa dan tubuh yang hanya satu. Serta banyaknya tekanan dari luar yang membuat saya berpikir. Apakah yang saya jalani saat ini adalah hal yang saya inginkan ketika saya bermimpi ?

Bukan. Tapi saya mencintainya. Mencintai segala isinya. Menyayangi segala apa yang saya kerjakan pada saat itu. Yang selalu menjadi alasan, saya tidak perlu berhenti untuk merasakan kepuasan lain. Sebab ini adalah tempatnya, kantor lama.
Saya enggan menyebut mereka sebagai bekas atau mantan. Sebab mereka adalah masih jadi bagian keluarga. Sebagian besar yang sudah keluar pun masih menjadi keluarga. Mereka rumah, rumah lama yang mungkin akan selalu saya singgahi ketika dunia yang saya harapkan tidak terjadi. Pada akhirnya saya akan bicara kepada bagian keluarga itu, apakah jalan yang harus saya tempuh jika keadaannya di luar kendali. Pada dasarnya, mereka adalah sesuatu yang tidak bisa saya tinggalkan.

Suatu hari saya membuat gaduh seluruh kantor. Gonjang ganjing yang penuh gunjingan. Si pendiam yang selalu memberikan semangat akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengadu di rumah itu. Satu-satunya wanita penghibur memilih undur diri. Tidak ada salam, tidak ada ungkapan terakhir, bahkan tidak ada perpisahan. Hanya sebuah gerak gerik tanpa diketahui, ia memutuskan berhenti.

Tak hanya hari itu, saya, perempuan itu sudah lama berpikir. Apa perlu saya berhenti. Apa perlu saya mencari pekerjaan lain selain menjadi wartawan sementara inilah yang saya idamkan. Sering kali, kerap kali, kepala ini usik memikirkan bagaiman caranya menyerahkan surat resign yang baik. Namun semakin sering memikirkan, semakin sering juga kegaduhan itu hilang. Meluap Bersama tawa, asuh dan jenaka mereka.

Sudah satu tahun, setiap bulan saya merasa saya harus berhenti menjajak. Saya lelah, bukan karena tekanan yang diberikan tak bisa saya penuhi. Saya hanya Lelah dengan diri saya sendiri yang kerap kali tak memahami jika dimanapun saya bekerja tekanan itu akan ada. Termasuk di kantor ini saya bekerja.

Saya bosan dengan keluhan saya yang itu itu saja. Saya Lelah dengan keadaan lapangan yang gersang dan sarat dengan tekanan juga. Lalu saya merasa Lelah, rumah yang saya huni tiba tiba menjadi meresahkan dan sepi. Beriringan dengan perginya keluarga yang saya sayangi dan masih saya hargai. Membuat kepala saya kembali gaduh, hati saya kembali ricuh. Saya juga ingin pergi seperti mereka.

Di satu titik terlemah saya yang mulai gamang dengan situasi yang ada, saya bertanya kepada kerabat, Mama, Bapak, keluarga besar sampai dengan teman di lapangan. Merekapun juga, memahami apa yang saya rasakan. Sebat, bumi dipijak tak lagi utarakan gaya gravitasinya. Seolah saya hampir tertarik oleh lubang di langit. Melepas saya ke jagat raya. Mengurung saya di dalam ruang hampa. Jika diteruskan saya bisa gila.
Saya tidak mampu.

Dalam posisi ragu itu, satu petunjuk menusuk hati, membuat saya kembali merasa yakin jika saya harus berhenti. Zona nyaman sudah jadi neraka. Tak hanya gila, saya bisa mati di dalamnya. Saya perempuan, saya punya hati. Bagi yang pernah menyakiti akan terus teringat. Lalu saya benar-benar merasa yakin jika saya memang harus berhenti. Karena terlepas dari tekanan. Saya merasa lebih tidak mampu, bertemu dengan seseorang yang pernah mengisi hati saya pergi dengan orang lain.

Sebuah alasan yang akhirnya saya akui, memperkuat kemunduran saya dari kantor lama. Untuk hal ini, cukup sulit mengakui jika alasan terbesar saya adalah ketidak profesionalan saya terhadap urusan hati saya. Tapi hati dan otak masih satu syaraf. Jadi, pahami. Tentunya saya nggak mungkin memperjelas masalah ini.

Terlepas dari itu semua, beruntung diraih. Beberapa tawaran tetap meliput di bawah instansi masuk ke dalam pesan-pesan yang saya kubur. Panggilan demi panggilan, tes demi tes ketika masih berada di kantor lama. Saya mendua, saya akui. Tapi saya butuh tempat lain. Butuh pelarian. Butuh tempat yang jernih agar saya bisa memahami diri saya sendiri.

Sampai akhirnya, di tengah tugas kantor lama meliput kegiatan Pemkot, saya bertemu dengan seorang senior dari kantor berita Antara. Disampaikan niat saya jika saya ingin pindah. Ingin fokus kepada kehidupan saya sendiri.

Cerita ini akan terus berlanjut. Karena saya merasa sesi hidup saya tak cuma sampai sini. Saya masih punya kisah lain di balik berhentinya saya dari kantor lama. Termasuk perpisahan yang hanya saya rekam dalam ingatan saya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar